Seandainya Matahari Tidak Pernah Ingkar Janji
Apa yang akan kamu ucapkan ketika sedang menikmati perjalanan tiba-tiba ban mobil yang kamu tumpangi mendadak bocor ditengah jalan karena jalanan yang berlubang. Lantas bagaimana murka perasaan kamu saat harus berpacu dengan waktu, namun perjalanan tersebut harus tertunda karena jalanan becek dan lebih parah lagi jalan yang kamu lewati rusak berat, yang ada hanyalah terjalan batu-batu dan kerikil, ditambah lagi kepulan debu yang semakin membuat sempurna rasa marahmu. Nah, sekarang coba ingat-ingat lagi ucapan-ucapan apa yang sempat keluar dari mulut kamu? Sekarang kebalikannya, coba ingat-ingat lagi betapa senangnya jika ketika mudik lebaran jalan yang kamu lewati begitu mulus, disamping kiri kanan jalan rambu-rambu lalulintas tertata rapi, bahkan pinggirang jalan juga dipasangin pembatas lengkap dengan batangan bercat merah untuk memudahkan pengguna jalan raya, sehingga kecelakaan bisa lebih sedikit. Jawabannya tentu sangat menyenangkan bukan? Tapi pernahkah kita berfikir siapakah pahlawan-pahlawan yang telah bekerja untuk memuat masyarakat menjadi bahagia selama perjalanan? Ataupun mengucapkan terimakasih kepada para pekerja yang telah bersusah payah membuat jalan, berpacu dengan panasnya lelehan aspal, ditambah lagi harus meninggalkan keluarganya bahkan sering kali kita melihat mereka rela berkorban meninggalkan keluarga dan seringkali mereka harus rela tinggal dihutan-hutan disamping jalan yang diperaibaiki jika jalan tersebut berada didaerah terpencil sperti yang sering aku lihat di sepanjang jalan Seulawah, saree Banda Aceh. Bahkan, tidak jarang diantara pekerja pembuat jalan ada yang meninggal karena DBD. Memang benar mereka bekerja dan dibayar, tapi terkadang upah yang mereka terima tidak sebanding dengan letih, kerja keras mereka. Memang benar mereka bekerja demi menghidupi anak-istri dan keluarganya. Tapi apa salahnya kita sedikit meluangkan waktu 1 menit saja untuk berdoa pada Allah SWT, agar jasa-jasa dan pengorbanan mereka mendapat pahala. Karena bagaimanapun tidak dapat dipungkiri betapa menyebalkan jika perjalanan kita harus selalu ”bermain” dengan debu-debu. Kita saja belum tentu mau jika disuruh bekerja seperti mereka meskipun dibayar mahal. Tetapi pada kenyataannya kita tetap saja tidak mau peduli, bahkan kita seolah-olah tidak mau tahu siapa yang membanting tulang menjadi manusia aspal. Lihat saja mana pernah ada tertulis nama-nama pekerja tersebut ditugu-tugu disepanjang jalan yang mereka buat, mereka tidak pernah minta untuk dikenang, meskipun aku percaya bahwa mereka pasti sedih karena dibalik jerih payah mereka nama yang terpampang pada saat jalan diresmikan pasti orang-orang ”besar” yang tidak pernah menyentuh aspal.
Pertanyaannya sekarang apakah ”melupakan jasa orang lain” ataupun tidak mau tahu sudah menjadi tradisi bangsa kita? Jawabannya bisa iya bisa tidak, tapi aku rasa tabiat ini berlangsung setelah kita merdeka, ya bisa saja perkiraan aku salah. Tetapi memang itulah kenyataannya, warisan dari leluhur kita Indonesia begitu bersahaja dan indah. Bahkan tidak itu saja saat ini kita seperti acuh tak acuh, seolah-olah kita bisa hiduptanpa bantuan orang lain. Bahkan yang lebih parah lagi, melupakan jasa-jasa para pahlawan adalah sebuah fenomena yang sangat menyakitkan hati. Tidak percaya? Coba saja lihat ketika 17 agustus, berbagai statiun televisi di Indonesia menyajikan berbagai program acara bernuansa nasionalis, reportase keberbagai tempat, setiap statiun televisi berlomba-lomba menampilkan yang terbaik. Namun, bukannya membuat kita bahagia malahan membuat kita malu mendengarnya. Bagaimana tidak memalukan jika mahasiswa yang mengaku kalangan terpelajar, tapi tidak tahu lirik lagu Indonesia raya yang merupakan lagu kebangsaan negaranya sendiri, lebih parah lagi saat ditanyakan ulang tahun proklamasi Indonesia yang keberapa saja mereka juga tergagap. ”yang aku ingat ya ulang tahun Indonesia yang ke 50, habis meriah sich! Tahun emas gitu” itulah jawaban yang keluar dari mahasiswa generasi penerus bangsa ini. Ada yang lebih aneh tapi bin ajaib dan nyata. Di daerah pelosok nama presiden saja tidak tahu, mungkin hal ini bisa dipahami karena keterbatasan informasi, apalagi jawaban ini diperoleh dari anak-anak dan penduduk yang berada didaerah paling miskin yang mata pencaharian mereka hanya menjadi pekerka upahan dilaut, berbulan-bulan terkadang harus dilaut. Untuk menjumpai keluarga saja mereka tidak sempat. Itu bisa dimaklumi tapi jika mahasiswa? Apa yang harus kita jelaskan pada pahlawan, malu hati ini.
Namun, jangan heran jika banyak kita temui pemuda-pemudi yang begitu bangga dengan kebudayaan negara luar. Lihat saja betapa gaya hidup, penampilan generasi Indonesia yang ikut-ikutan budaya barat, untuk anak-anak gadis begitu tergila-gila dengan gaya rambut jepang, bahkan mereka lebih bangga jika berpenampilan harajuku, les bahasa jepang. Namun, mungkin kedengarannya aneh jika seseorang lebih menyukai pelajaran bahasa Indonesia daripada bahasa inggris. Memang tidak ada yang salah dengan bahasa-bahasa asing tersebut, karena semakin banyak kita menguasai bahasa maka akan semakin mempermudah dalam berkomunikasi. Akan tetapi permasalahannya adalah banyak yang malu jika mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apalagi jika sudah berada dikota besar, sepertinya gengsi bisa turun jika tidak berbicara bahasa inggris, atau paling tidak mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa yang aneh. Seseorang lebih terlihat oke jika pandai berbahasa Inggris. Padahal justru keanehan bisa jadi membuktikan bahwa dia merupakan sosok yang berjiwa nasionalisme tinggi. Karena itu, jangan heran jika semua orang dituntut bisa berbahasa inggris dengan alasan bahasa International, sementara jarang sekali kita dituntut untuk berbahasa baik dan benar. Sudahkah kita berlaku adil dengan negara kita sendiri Indonesia? Sedangkan memasang bendera merah putih pada bulan Agustus saja kita malas. Bahkan begitu banyak kita melihat anak muda yang lebih bangga menggunakan jaket yang bergambarkan bendera negara lain, dibandingkan bendera merah putih. Seandainya saja kita mau merenungi kembali kejadian dihari pertama proklamasi kemerdekaan negara ini, hampir saja terjadi insiden berdarah di kediaman Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur 56, Menteng, tempat dilangsungkannya proklamasi dan pengibaran bendera pusaka merah putih. Pada saat itu Matahari mulai condong ke Barat. Bung Karno masih sempat memandangi kibar bendera merah putih yang dikerek naik tadi pagi. Hatinya membatin, “Alhamdulillah, bendera Republik sudah berkibar sekarang.” Tekadnya menggumpal, “Kalaupun ia turun lagi, maka ia hanya akan turun melalui tujuh puluh dua juta mayat dari bangsaku yang bergelimpangan. Kami takkan melupakan semboyan revolusi: Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”
Sejak pembacaan teks proklamasi kemerdekaan tersebut Bangsa
Sebelum proklamasi kemerdekaan, pengibaran Bendera Merah Putih merupakan sebuah usaha yang sangat berbahaya. Penjajah tidak segan-segan menangkap dan menghukum orang yang tertangkap mengibarkan Bendera Merah Putih. Pada saat itu, pengibaran Bendera Merah Putih membutuhkan pengorbanan yang sangat besar.
Kita tentu ingat bagaimana perjuangan Arek-Arek Suroboyo pada 10 November 1945 ketika tentara Sekutu yang diboncengi Nica ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang yang sudah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Di Surabaya, para pejuang kita harus mengorbankan jiwa untuk dapat merobek warna biru bendera Belanda di Hotel Oranje sehingga tinggal warna merah dan putihnya saja.
Marilah kita bercermin pada masa yang telah lewat di mana para pendahulu kita telah mengirbankan segalanya untuk mengantarkan kita hidup di alam kemerdekaan. Kibarkan Bendera Merah Putih selama bulan Agustus karena kita sekarang bebas mengibarkan Bendera Merah Putih itu, tidak seperti para pendahulu kita yang kadang-kadang harus mengorbankan nyawa hanya untuk mengibarkan Bendera Merah Putih. Sudah sepantasnya setiap rumah di
Dulu ketika aku masih kecil, sering sekali aku melihat film-film barat. Ceritanya seperti ini jika ada keributan yang tidak bisa ditolerin lagi dan mereka sudah menyerah melerainya, maka jalan yang paling sering dilakukan adalah dengan menghidupkan lagu kebangsaan mereka, alhasil keributan akan berhenti. Lihatlah betapa mereka begitu mencintai tanah airnya.
Di jepang, setiap Lagu Kebangsaan mereka berkumandang, pasti anak bangsa tersebut memberhentikan sejenak pekerjaannya dan setiap pagi mereka pasti menyempatkan waktunya sejenak untuk hormat pada Bendera berlambang Matahari tersebut. Tapi tidak di Indonesia, Indonesia Raya hanya berkumandang waktu ada acara kenegaraan atau pada Upacara Senin pagi disekolahan. Banyak juga yang menganggap Indonesia Raya slengean. Sangat Kontras, kapan bangsa ini akan maju kalau apa yang sakral bagi negara saja tidak dihormati. lantas apakah kita baru mengerti nasionalis ketika kita telah berada dinegeri orang? Atau yang lebih aneh lagi apakah kita baru mendapat pelajaran yang berharga tentang arti nasionalis dan patriotisme ketika kita berada di Negara yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 3 setengah tahun tersebut.
Jangan sampai kita baru menyesal ketika semuanya sudah terlambat. Seharusnya kita juga malu hati kepada para pahlawan. Mereka begitu tulus membela tanah air ini, karena mereka tidak mau anak cucunya kelak merasakan penderitaan yang pernah mereka rasakan. Pejuang-pejuang kita berjuang keras mengorbankan harta, nyawa karena mereka tidak mau generasi yang akan datang harus memakai kain goni karena harga kain dimasa penjajah begitu mahal, seharusnya kita bersyukur karena jasa pahlawan kita bisa merasakan nikmatnya nasi putih yang menggepul diatas meja. Tanpa perlu khawatir penjajah akan mengedor-ngedor pintu. Kita harusnya berterimakasih karena nasib kita lebih baik dari leluhur kita yang terpaksa harus makan nasi yang berasal dari beras yang sudah bercampur debu-debu tanah. Betapa tidak menyenangkan hidup dizaman penjajah.
Tapi apa yang kita berikan untuk pahlawan? Tak pernah kit ahargai jasa-jasa mereka. Mereka tidak pernah menuntut piagam penghargaan, samasekai tidak! Malahan banyak diantara mereka yang malas mengembar-gemborkan jasanya didepan publik. Itu karena mereka niatnya tulus karena Allah SWT. Lantas dimanakah rasa sayang kita takkala melihat para veteran pejuang kemerdekaan yang ditemukan oleh tim wartawan dari televisi-televisi, bahwa banyak diantara para pejuang tersebut yang kini hidupnya begitu terlantar, tertindas di negerinya sendiri. Melarat hidup ditempat kumuh, betapa miris hati ini takkala seorang reporter salah satu televisi swasta melaporkan bahwa ada pejuang-pejuang yang kini bekerja sebagai buruh, tukang bersih sekolah, jualan es di pinggir sekolah. Inikah balasan yang harus diterima dari generasi ini?.
Baiklah sekarang coba kita buka kembali buku-buku sejarah, atau paling tidak kita pasti pernah melihat sebuah foto pengibaran bendera merah putih pada saat proklamasi. Di foto tersebut terdapat foto beberapa pemuda, Pada detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, ia berdiri beberapa jengkal saja dari sisi Bung Karno. Siapakah pemuda itu? Dialah Ilyas karim,Dialah sang pengibar Sang Saka Merah Putih. Bersama Sudanco Singgih (almarhum), Ilyas menjadi salah satu yang bertugas mengerek bendera ketika proklamasi dikumandangkan 64 tahun silam di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat. Usia ilyas pada saat itu masih 17 tahun. Foto Ilyas terabadikan dalam buku-buku sejarah. Ia tampak mengenakan kemeja dan celana pendek putih. Sementara Sudanco mengenakan seragam tentara lengkap. Bung Karno, Bung Hatta, dan Fatmawati Soekarno mendongak ke atas menyaksikan bendera kian meninggi. Dia adalah seorang pejuang, tapi siapa yang mau peduli jika kehidupannya dihari tua justru terdampar ditengah deru kereta api terdengar menggaruk-garuk rel, Ilyas Karim kerap dibayangi kekhawatiran jika gerbong sekonyong-konyong menimpa rumahnya. Maklum, jarak rumah Ilyas dengan rel cuma lima meteran. Pernah terjadi tabrakan kereta api dan metro mini kebun pisangnya habis tergilas. Namun,mau tidak mau digubuk sempit itulah dia menghabiskan masa tua bersama pejuang-pejuang lainnya. Tak pernah lupa Ilyas mengenakan pin veteran 1945 di dada kirinya. Inilah yang menyelamatkan dia dari omelan kondektur atau petugas tiket KA. Mereka tak berani menagih ongkos KA. ''Mereka tahu veteran enggak ada duitnya,''.
Apakah kita sadar bahwa kita telah menjadi bangsa yang mencoba melupakan masa lalu? Mungkin ada benarnya ungkapan bahwa” cobaan dari Tuhan baru akan membuat manusia tersadar, meskipun cobaan itu mengerikan tapi justru dengan cara itulah kita mau berubah. ”disaat genting, manusia baru berubah”
Mungkin inilah jalan yang terbaik meskipun sangat perih, lihatlah kita baru terngaga dan mengap-mengap tidak karuan takkala satu-persatu pulau dinegara ini diambil oleh negara lain. Lihat saja kita hanya bisa melongo takkala kalah dari malaysia. Akhirnya kita kalang kabut, rame-rame protes. Menangisi nasib kita. Lantas cobaan lain datang menghampiri, luka lama yang belum terobati kini datang yag lain lagi. Batik, tempe yang merupakan makanan asli Indonesia diklaim milik negara Jepang untuk tempe dan batik milik malaysia. Reog ponorogo, lagu rasa sayange, burung kakaktua, bahkan lagu apuse kebudayaan Irian jaya juga ikut diserobot, lantas kita baru latah menangisi nasib. Satu persatu iklan ditelevisi, jargon, bahkan musik jinggle sebuah televisi juga mulai menggunakan lagu apuse. Tari pendet yang jelas-jelas dari Bali juga ikut dirampas. Sekali lagi kita hanya bisa marah, mulai protes disaat semuanya sudah terlambat. Lantas apakah salah jika akhirnya negara lain mengolok-olok kita jika saat ditanya tentang lagu-lagu dan budaya yang telah diakui milik malaysia, kita sendiri jarang mendengar. Malah ada yang ragu saat ditanya tentang budaya sendiri. Yang lebih aneh hanya budayadan tarian yang tiap kali di curi negara lain, itulah yang kemudian di jaga, sedangkan budaza Indonesia yang lain, yang beribu-ribu jumlahnya pernahkah kita berusaha menggali dan melestarikannya? Minimal dengan kita bisa kembali membudayakannya kembali. Kita bisa mulai dari hal yang kecil. Biasakanlah anak-anak kita, adik-adik kecil untuk mencintai budaya sendiri, jangan biarkan adik-adik kecil bangga dengan pahlawannya seperti power ranger, ultramen, pahlawan bertopeng, sichan. Superboy, spiderman. Tapi cobalah membiasakan mereka menonton film-film perjuangan, ajak kemesium, mengenal pahlawan-pahlawan Indonesia yang begitu hebat. Biasakanlah membaca buku-buku sejarah tentang pahlawan. Jangan malu belajar budayasendiri. Jangan malu makan gado-gado, pliek ue dari Aceh, gudeg dari Jogya, tempe bacem, dan masih banyak makanan Indonesia yang begitu lezat loan dan racikan warisan dari leluhur kita yang begitu cerdas dan pintar. Dibandingkan dengan makanan cepat saji, pizza dan lain-lain makanan Indonesia jauh lebih baik, lihat saja begitu sempurna rajikan resep-resep makanan Indonesia. Bergizi, sehat bahkan turis asing, dan NGO-NGO yang datang ke Aceh mereka begitu senang mengkonsumsi makanan tradicional kita. Lantas mengapakita harus malu dengan makanan kita sendiri? Haruskah kita baru mencari resep dan harus membayar izin jika makanan, budaya kita sudah dipatenkan oleh negara lain?
Indonesia, negara yang sangat indah. Sampai kapanpun aku bangga menjadi bangsa ini. Aku rindu suasana negeri ini yang seperti dulu, aku rindu kehangatan bangsa ini. Aku rindu Indonesia yang terkenal akan keramahtamahannya, suasana gotong royong dikampung-kampung saat membangun rumah warga, membersihkan desa. Tapi kini aku tak lagi melihat kebersamaan itu, tak lagi aku melihat ibu-ibu yang saling bantu saat acara pernikahan, bapak-bapak yang membangung tenda pelaminan, membuat janur kuning. Aku rindu semua itu, bukan seperti sekarang yang ada hanyalah pesta digedung, semuanya ditanggung pihak cathering. Tidak ada lagi suasana kekeluargaan.
Pahlawan, aku rindu akan masa kecilku, memainkan permainan petak umpet, harimau dan kucing, enggrang dengan teman-temanku, ataupun bermain perang-perangan menggunakan senjata yang dibuat dari pelepah pisang, mobil perang dari jeruk bali, tidak seperti sekarang yang langsung beli, hilanglah kreativitas bangsa ini. Tidak ada lagi rasa setia kawan, saling berbagi. Yang ada hanyalah Playstation (PS). Makanya hal itu banyak berpengaruh terhadap sifat dan tingkah polah generasi sekarang, yang lebig bersifat individual. Tidak mau tahu terhadap orang lain. Ah, seandainya saja generasi ini tidak pernah ingkar janji, seandainya saja generasi ini mau mencintai Indonesia sepenuh hati, agar budaya kita tidak pernah dirampas lagi. pahlawan aku rindu padamu...seandainya saja sahabat-sahabatku tahu, bahwa Indonesia ini begitu indah, semuanya lengkap ada disini, di Indonesia. Tak perlu malu menjadi bangsa Indonesia, buktinya kalau Indonesia tidak berharga, lantas mengapa negara ini begitu diminati oleh negara-negara lain? Mengapa semua sisi dari Indonesia begitu mengiurkan? Seandainya saja generasi ini bisa laksana matahari yang tidak pernah ingkar janji, yang selalu hadir tepat pada waktunya, tak pernah terbit terlambat dan tidak pernah ingkar janji terhadap apa yang telah menjadi kewajibannya, yang selalu bangga menjadi diri sendiri. Aku percaya pasti pahlawan dan ibu pertiwi akan tersenyum bahagia. Ibu pertiwi maafkan aku yang belum bisa membuatmu tersenyum bahagia.